Akhir Pengalihan Program Jaminan Sosial ASABRI dan TASPEN ke BPJS Ketenagakerjaan, Pasca Putusan MK

 Akhir Pengalihan Program Jaminan Sosial ASABRI dan TASPEN ke BPJS Ketenagakerjaan,

 Pasca Putusan MK

oleh:

Adhi Kristian

Dua Pesan Penting UU SJSN

UU SJSN mengharuskan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-undang (Pasal 5 ayat (1) UU SJSN). Untuk mengisi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dan menjamin kepastian hukum (rechtszekerheid) UU SJSN menegaskan keempat BUMN penyelenggara Jamsos saat itu agar disesuaikan dengan UU SJSN paling lama 5 Tahun sejak UU SJSN berlaku (Pasal 52 UU SJSN), lihat pertimbangan MK dalam putusan perkara 007/PUU-III/2005. 

Kebijakan Hukum Terbuka

Kemudian dalam penjelasan umum UU SJSN, menjelaskan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dalam Undang-Undang ini adalah transformasi dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang sekarang telah berjalan dan dimungkinkan membentuk badan penyelenggara baru sesuai dengan dinamika perkembangan jaminan sosial. Penjelasan ini menunjukan ada kebijakan hukum terbuka terkait jumlah penyelenggara jaminan sosial yang dapat dibentuk sesuai UU SJSN.

Dengan demikian ada 2 pesan penting UU SJSN, yaitu: 

  1. Agar dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dengan Undang-undang; 
  2. Penyelenggara jaminan sosial yang ada sekarang, 4 BUMN, Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri agar bertransformasi sesuai UU SJSN, dimungkinkan pembentukan penyelenggara baru sesuai tuntutan perkembangan.

Lebih lanjut, UU SJSN tidak menjabarkan makna dan ruang lingkup transformasi yang dimaksud. 

Makna Transformasi

Kemudian oleh UU BPJS sebagai pendelegasian Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 52 UU SJSN, transformasi dimaknai dan dijabarkan sebagai transformasi kelembagaan PT Askes (Persero), PT Jamsostek (Persero), PT TASPEN (Persero), dan PT ASABRI (Persero) menjadi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, diikuti adanya pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban, lihat penjelasan umum UU BPJS.

Dalam perkembangannya, 2 BUMN, PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek   (Persero) telah menjalankan perintah transformasi berdasarkan UU BPJS, menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.  Sedangkan menurut Pasal 57 jo. Pasal 66 UU BPJS, PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (persero) diperintahkan mengalihkan bagian program yang sesuai dengan UU SJSN. Mencermati bunyi Pasal 66 UU BPJS, berimplikasi bagi PT ASABRI (Persero) dan PT TASPEN (Persero) tetap eksis dengan tidak menjalankan program jaminan sosial yang sesuai UU SJSN, dengan demikian tidak melanggar UU SJSN.

Soal Tafsir atau Inkonstitusional 

Apakah perintah transformasi bagi PT TASPEN (Persero) dan PT ASABRI (Persero) sebatas pengalihan program, berdasarkan Pasal 57 jo. Pasal 66 UU BPJS ataukah transformasi tuntas yang diikuti pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban yang berimplikasi pada bubarnya kedua badan hukum ini sebagaimana transformasi PT ASKES (Persero)  dan PT Jamsostek (Persero)?

Dalam kondisi ini, kehadiran Mahkamah dibutuhkan untuk memberi tafsir dan keputusan. Apakah Pasal 57 dan 66 UU BPJS mengandung pengalihan tersebut terbatas pada pengalihan program atau bagian dari transformasi yang diikuti pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban yang pelaksanaan lebih lanjut didelegasikan dengan Peraturan Pemerintah?

Bukan Tafsir tapi Keputusan Inkonstitusional

PNS dan pensiunan menggugat Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 (Perkara No. 72/PUU-XVII/2019), dan Pasal 57 huruf (e) dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS (Perkara No. 6/PUU-XVIII/2020) ke Mahkamah Konstitusi. Pemohon mempersoalkan konstitusionalitas pengalihan penyelenggaraan program jaminan sosial selama ini diselenggarakan oleh PT Taspen (Persero) dan PT Asabri (Persero) kepada BPJS Ketenagakerjaan di mana pengalihan demikian tidak terlepas dari pembentukan BPJS yang hanya terdiri dari dua badan saja yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

Mahkamah Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya. Pengalihan program yang dimaksud kepada BPJS Ketenagakerjaan, inkonstitusional. Pertimbangan Mahkamah secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut:

  1. Belum pernah ada putusan Mahkamah yang menegaskan pendirian perihal  konstitusionalitas ketentuan peralihan yang dimaksud;  
  2. Pengalihan akan menghilangkan entitas PT Taspen (Persero) dan PT ASABRI (Persero); 
  3. Pengalihan berimplikasi pada penerapan lembaga tunggal penyelenggara jaminan sosial ketenagakerjaan yang tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk UU SJSN.
  4.  Putusan MK dan UU 40/2004 bukan memilih lembaga tunggal, tapi memilih lembaga majemuk.
  5. Pilihan kebijakan dengan lembaga tunggal tidak sejalan dengan konsep transformasi badan penyelenggara jaminan sosial sebagaimana termaktub dalam UU 40/2004.
  6. Perintah transformasi, tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda. Transformasi cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum;
  7. sekalipun pilihan melakukan transformasi dari PT TASPEN (Persero) menjadi BPJS Ketenagakerjaan dimaksud merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara yang tergabung dalam PT TASPEN, ASABRI (Persero) sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1), Pasal 28H ayat (3), dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.

Apabila melihat pertimbangan tersebut, nampaknya Mahkamah hendak menyampaikan pendiriannya bahwa transformasi cukup sebatas perubahan bentuk badan hukum penyelenggara jaminan sosial yang ada saat itu, sehingga ada kelembagaan majemuk penyelenggara jaminan sosial dari transformasi 4 BUMN saat itu, PT ASKES, JAMSOSTEK, TASPEN, dan ASABRI. 

Namun demikian penulis berpendapat pendirian dalam putusan ini akan menimbulkan  kontradiksi dan ketidakpastian hukum dalam implementasi UU SJSN dan UU BPJS di kemudian hari. Apabila memperhatikan pertimbangan putusan Mahkamah, maka telah timbul kontradiksi:

Pertama, Mahkamah tidak menampilkan fakta bahwa peralihan program berdasarkan UU SJSN dan UU BPJS telah terjadi secara Konstitusional, yakni program jaminan pemeliharaan kesehatan PNS PT Askes (Persero) dan JPK tenaga kerja  ke BPJS Kesehatan, dan program JKK, JKM, JHT PT Jamsostek (Persero) ke BPJS Ketenagakerjaan. Apakah setelah putusan Mahkamah ini pengalihan program yang telah berlangsung tersebut menjadi inkonstitusional?

Kedua,  bahwa memang benar Putusan MK dan UU 40/2004 tidak memilih lembaga tunggal, juga tidak eksplisit memilih lembaga majemuk. Terkait jumlah lembaga merupakan kebijakan hukum terbuka.  Jika mencermati putusan-putusan MK terdahulu, hal ini terkait pilihan kebijakan hukum (legal policy) pembentuk Undang-undang yang sewaktu-waktu dapat berubah oleh pembentuk UU itu sendiri. Pilihan hukum pembentukan UU BPJS menentukan berdasarkan Undang-undang ini dibentuk 2 (dua) BPJS, BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Dengan adanya putusan Mahkamah, Apakah legal policy pembentuk UU ini bertentangan dengan pendirian Mahkamah?

Ketiga, Mahkamah berpendapat pengalihan menghilangkan entitas PT TASPEN dan PT ASABRI. Namun bukankah apabila pendirian Mahkamah dijalankan konsisten sebagaimana kehendak UU SJSN terjadi transformasi atas penyelenggara yang ada saat itu, maka entitas TASPEN dan PT ASABRI hilang dengan ada pembubaran perseroan sebagaimana terjadi pada PT ASKES dan PT Jamsostek? 

Kemudian, apabila kita melihat kembali Pasal 66 UU BPJS, memerintahkan kepada pemerintah untuk mengalihkan program dalam PT TASPEN dan PT ASABRI yang sesuai dengan UU SJSN. Menurut  Pasal 66 ini, PT TASPEN dan PT ASABRI hanya diperintahkan untuk mengalihkan program yang sesuai dengan UU SJSN, sehingga BUMN ini tetap dapat eksis menyelenggarakan program yang lain misal dengan mengembangkan program perumahan, pangan, sandang bagi PNS/ASABRI, dsb.

Keempat Mahkamah menghendaki transformasi dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial peserta PT TASPEN, ASABRI (Persero). Apa maksud Mahkamah transformasi agar dijalankan konsisten? Jika hendak konsisten, transformasi yang sudah berjalan harusnya mengejawantahkan makna pengalihan peserta, program, aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban. Transformasi tidak sebatas pengalihan program, namun juga hak dan kewajiban peserta, sehingga ada jaminan kepastian hukum perlindungan keberlangsungan jaminan sosial bagi peserta, bahkan adanya jaminan pengelolaan untuk sebesar-besarnya manfaat bagi peserta. Dengan demikian pertimbangan Mahkamah bahwa tidak ada kepastian hukum atas keberlangsungan program jaminan sosial bagi peserta tidak relevan. Hal ini juga menimbulkan konsekuensi, legal standing pemohon menjadi tidak relevan.

Mahkamah Masuk Ranah Legal Policy

Mahkamah telah masuk ranah kewenangan legal policy pembentuk Undang-undang dan melupakan prinsip transformasi yang tidak semata-mata sebagai pengalihan program, ada hak kewajiban, aset liabilitas, pegawai, peserta yang juga wajib dialihkan. Penulis berpendapat atas Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011 (Perkara No. 72/PUU-XVII/2019), dan Pasal 57 huruf (e) dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS (Perkara No. 6/PUU-XVIII/2020), Mahkamah selayaknya meneguhkan konstitusionalitas transformasi, bahwa memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai pengalihan program juga diikuti pengalihan aset dan liabilitas, pegawai, serta hak dan kewajiban, dan peserta. Dengan demikian keempat BUMN tersebut melaksanakan transformasi secara tuntas, sebagaimana dikehendaki UU SJSN.  Sedangkan, apabila dalam perkembangan transformasi atas PT TASPEN dan PT ASABRI dinilai tidak relevan dengan perkembangan zaman, hal ini bukan lagi terkait konstitusionalitas UU, namun terkait pilihan legal policy pembentuk UU, yang mana harus ditindaklanjuti dengan amandemen UU yang terkait.

Persoalan Baru

Mahkamah memutuskan Ketentuan Pengalihan dalam Pasal 57 dan 65 UU BPJS, inkonstitusional. Hal ini menimbulkan persoalan baru, terkait bagaimana konstitusional penyelenggaraan jaminan sosial PT  ASABRI (Persero) dan PT TAspen (Persero). UU SJSN mengamanatkan BUMN penyelenggara Jamsos wajib disesuaikan dengan UU SJSN dalam tenggat waktu paling lama 5 (lima) tahun sejak pemberlakuan UU SJSN. Tenggat waktu telah habis, dasar PT ASABRI dan PT TASPEN menyelenggarakan program jamsos adalah masa peralihan hingga 2029 sebagaimana ditentukan UU BPJS sebagai pendelegasan dari UU SJSN. Sedangkan dasar hukum masa peralihan tersebut telah dinyatakan inkonstitusional.

Putusan Bersifat Final

Menurut Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK, Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh. Mengingat hal itu, Para pemangku kepentingan hendaknya dapat melakukan adaptasi dengan tepat. 

 

Akhir Pengalihan Program Jaminan Sosial ASABRI dan TASPEN ke BPJS Ketenagakerjaan, Pasca Putusan MK
Scroll to top