Kebijakan dasar Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dalam RUU Cipta Kerja (Omnibus law Cipta Kerja) menghendaki adanya perlindungan bagi pekerja yang terkena PHK. Pekerja yang terkena PHK tetap mendapatkan pesangon, penghargaan masa kerja. Selain itu ada yang baru, Pemerintah memberikan tambahan kompensasi berupa Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
Jaminan Kehilangan Pekerjaan
RUU Cipta Kerja akan merubah Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN), untuk menambahkan materi Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) bagi pekerja. Rencananya, pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja berhak mendapat JKP. Manfaat JKP berupa pelatihan dan sertifikasi (Vocational Training), uang tunai (Cash Benefit), serta fasilitasi penempatan (Job Placement Access).
Prinsip JKP, sama dengan prinsip program jaminan sosial yang lain, Jaminan Kesehatan (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP), Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), yaitu prinsip asuransi sosial, kepesertaan wajib, dengan kewajiban membayar iuran. Hanya saja iuran Jaminan Kehilangan Pekerjaan sepenuhnya dibayarkan pekerja, tidak seperti program jaminan sosial yang lain adanya berbagi iuran antara pekerja dan pemberi kerja. Tentunya hal ini berpotensi menimbulkan polemik mengingat upah pekerja akan dipotong untuk iuran JKP, dan efektifitas pelaksanaannya akan sangat terkait dengan kebijakan pengupahan dan tingkat budaya jaminan sosial para pekerja Indonesia.
Jaminan untuk Pekerja Kontrak
Sejalan dengan perkembangan teknologi digital dan industri 4.0, Pekerja Kontrak atau Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), dianggap akan tetap eksis dan berkembang jenis-jenisnya. Kebijakan dasar Omnibuslaw Cipta kerja menghendaki hak dan perlindungan yang sama dengan pekerja tetap, yakni upah, Jaminan Sosial, Perlindungan K3, termasuk kompensasi pengakhiran hubungan kerja.
Omnibuslaw Cipta Kerja juga menghendaki keterbukaan PKWT bagi semua jenis pekerjaan. Hal ini berpotensi menimbulkan tidak lakunya PKWTT. Pemberi kerja tidak tertarik menggunakan perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), terutama bagi jenis pekerjaan yang melimpah sumber daya manusianya, dan lebih memilih mempekerjakan kontrak para pekerja. Dengan demikian pemberi kerja tidak dipusingkan dengan potensi perselisihan hubungan industrial yang rumit dalam pemutusan hubungan kerja. Namun dapat berlaku terbalik, bagi jenis pekerjaan yang membutuhkan keahlian tertentu dengan sumber daya manusia yang terbatas, potensial terjadi pemberi kerja akan berupaya keras mengikat pekerja dengan PKWTT. (Adhi Kristian)