Dilaporkan Perkosa Asisten, Dewas BPJS Kebal Hukum?

Baroindo.id_Kasus dugaan perbuatan tercela di Dewan Pengawas (Dewas) BPJS Ketenagakerjaan (BPJS TK) mengemuka ke publik. Salah satu anggota Dewas berinisial SAB dikabarkan telah melakukan perkosaan terhadap RA (27), asisten  berstatus pekerja kontrak. Upaya RA untuk mendapat perlindungan dan keadilan dengan melaporkan perbuatan SAB ke internal Dewas BPJS TK, berujung skorsing. Apakah Dewas BPJS TK tidak terkontrol hukum?

Dewan Pengawas merupakan jabatan strategis yang perlu mendapat kontrol masyarakat. Kewenangan strategis Dewas BPJS TK mencakup hal pengawasan atas pelaksanaan pengurusan sekitar Rp. 312, 3 T[1] dana jaminan sosial oleh direksi, dan pemberian nasihat kepada direksi dalam penyelenggaraan program Jaminan Sosial ketenagakerjaan. Dewas BPJS TK mendapat gaji dari dana operasional BPJS TK yang bersumber dari dana jaminan sosial ketenagakerjaan milik peserta (publik). Masyarakat sebagai pemilik dana selayaknya melakukan kontrol terhadap Dewas BPJS TK.

Kontrol Terhadap Dewas BPJS TK

Mengemukanya kasus RA memperlihatkan urgensi berjalannya kontrol masyarakat terhadap Organ BPJS, baik Dewas maupun Direksi, dalam sistem jaminan sosial di Indonesia. Masyarakat sebagai shareholder utama jaminan sosial ketenagakerjaan  paling berkepentingan atas kontrol terhadap Organ BPJS, namun kesadaran ini belum sepenuhnya terbangun.

Rezim Hukum Jaminan Sosial telah menyediakan perangkat bagi masyarakat, baik sebagai peserta, perorangan, kelompok, maupun lembaga untuk menjalankan fungsi yang dimaksud. Kontrol masyarakat terhadap Organ BPJS dapat dilaksanakan berdasarkan PP. 88/2013[2], terkait kepatuhan terhadap 6 (enam) larangan bagi Organ BPJS. Berdasarkan Pasal 2 PP 88/2013, Dewas maupun Direksi BPJS dilarang:

  1. memiliki hubungan keluarga sampai dengan derajat ketiga antaranggota Dewan Pengawas, antaranggota Direksi, dan antaranggota Dewan Pengawas dan anggota Direksi;
  2. memiliki bisnis yang mempunyai keterkaitan dengan penyelenggaraan Jaminan Sosial;
  3. melakukan perbuatan tercela;
  4. merangkap jabatan sebagai anggota partai politik, pengurus organisasi masyarakat atau organisasi sosial atau lembaga swadaya masyarakat yang terkait dengan program Jaminan Sosial, pejabat struktural dan fungsional pada lembaga pemerintahan, pejabat di badan usaha dan badan hukum lainnya;
  5. membuat keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan; dan/atau
  6. memiliki seluruh atau sebagian badan usaha yang terkait dengan program Jaminan Sosial.

Perbuatan Tercela dan Sanksi Pemberhentian Tetap

Kontekstual kasus RA, masyarakat (korban, peserta, organisasi) dapat melaporkan RAB kepada DJSN secara tertulis atas dugaan melakukan perbuatan tercela. Laporan tertulis tersebut wajib paling sedikit memuat:

  1. nama dan alamat pihak yang mengadukan;
  2. nama, jabatan, dan alamat lengkap pihak yang diadukan;
  3. perbuatan tercela yang diadukan; dan
  4. Keterangan yang memuat fakta, data, atau petunjuk terjadinya perbuatan tercela.

DJSN wajib menindaklanjuti pelaporan tersebut dengan membentuk tim panel, memeriksa, mengenakan sanksi atau memulihkan nama baik.

Pembentukan Tim Panel

Atas laporan dugaan perbuatan tercela Anggota Dewas tersebut, DJSN membentuk tim panel yang bersifat ad hoc untuk memeriksa laporan dugaan pelanggaran. Ketua DJSN menetapkan tim panel yang terdiri dari  1 orang anggota DJSN,  2 orang dari kementerian, dan 2 orang dari unsur ahli.

Tim panel mengemban 5 (lima) tugas pokok dalam rangka menindaklanjuti laporan. Tim Panel melakukan klari-vali, pengumpulan fakta, meminta keterangan pelapor-terlapor, dan memberi pertimbangan kepada Ketua DJSN mengenai hasil pemeriksaan termasuk pengenaan sanksinya.

Pemeriksaan

Tim panel mengadakan rapat panel sejak tanggal hasil laporan teregistrasi dalam waktu 5 (lima) hari kerja. Rapat ini wajib dihadiri oleh paling sedikit 1 (satu) orang dari tiap-tiap unsur. Rapat panel dilaksanakan untuk melakukan klarifikasi, validasi, dan verifikasi terhadap fakta, data, dan/atau keterangan lain serta menentukan agenda pemeriksaan selanjutnya.

Tim panel dapat memanggil terlapor dan pelapor untuk dimintai keterangan sesuai dengan laporan. Terlapor berhak atas kesempatan klarifikasi atau pembelaan dalam proses pemeriksaan ini.

Pengenaan Sanksi Pemberhentian Tetap

Apabila terlapor terbukti melakukan perbuatan tercela, maka atas pertimbangan yang diberikan tim panel, Ketua DJSN menyampaikan pertimbangan kepada Menteri Ketenagakerjaan atas pengenaan sanksi pemberhentian tetap kepada terlapor. Sanksi pemberhentian tetap ini juga berlaku atas pelanggaran larangan membuat atau mengambil keputusan yang mengandung unsur benturan kepentingan. Kemudian Presiden memberhentian tetap terlapor berdasarkan berdasarkan pertimbangan dari Menteri Ketenagakerjaan.

Penghentian Pemeriksaan

Tim Panel wajib menghentikan pemeriksaan terhadap terlapor, dalam hal terlapor telah menngunduran diri sebagai anggota Dewan Pengawas. Ketua DJSN menetapkan Keputusan Ketua DJSN mengenai penghentian proses pemeriksaan laporan terhadap anggota Dewas berdasarkan laporan tim panel mengenai penghentian proses pemeriksaan pelaporan. Keputusan ditetapkan, setelah ketua DJSN menyelenggarakan rapat tim panel untuk memutuskan penghentian proses pemeriksaan laporan.

Untuk mengisi kekosongan jabatan anggota Dewas yang mengundurkan diri, presiden membentuk panitia seleksi untuk memilih calon anggota pengganti antarwaktu.  Pelaksanaan pengganti antarwaktu sesuai dengan Tata Cara Pemilihan dan Penetapan  Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi yang diatur dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 30, dan Pasal 31 UU BPJS. Lebih lanjut diatur dalam Perpres 81/2015.

Pemulihan Nama Baik

Anggota Dewas BPJS TK, terlapor, apabila tidak terbukti melakukan perbutan tercela, wajib dipulihkan nama baiknya oleh Menteri Ketenagakerjaan, atas pertimbangan  Ketua DJSN. Keputusan Menteri mengenai pemulihan nama baik terlapor disampaikan kepada terlapor dengan tembusan kepada DJSN.

Proses pemeriksaan kasus kesusilaan sebagaimana kasus RA, berdasarkan PP. 88/2013 merupakan ranah hukum administrasi, untuk memutus ada tidaknya pelanggaran dan penjatuhan sanksi administrasi. Sedangkan perkosaan sebagai perbuatan pidana lebih lanjut akan diadili berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

sumber: PP 88/2013

Permintaan Legal opinion tehadap kasus RA lebih lanjut, dapat menghubungi link http://baroindo.id/contactus

 

[1] Lap. Keuangan BPJS TK, 2017

[2] PP. 88/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administrasi Bagi Anggota Dewan Pengawas dan Anggota Direksi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Nasional, pelaksanaan Pasal 53  ayat (4) UU BPJS.