“Dari diskriminasi menuju administrasi kependudukan perkawinan bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa (TYME) yang berkepastian hukum.”
Baroindo.id_Sebelumnya, perkawinan ini tidak dapat tercatat dalam administrasi kependudukan. Penyebabnya, ketiadaan rekaman/kosongnya keterangan penghayat kepercayaan terhadap TYME dalam Database Kependudukan Pemerintahan RI. Penghayat kepercayaan tidak dianggap sebagai salah satu agama yang diakui di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan alasan ini, Pasal 61 ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan UU 24/2013, memerintahkan pengosongan keterangan agama saat perekaman data KK dan KTP bagi para penghayat kepercayaan.
Kepastian Hukum
Saat ini, secara legal formal, diskriminasi tersebut telah berakhir. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan perkara no. 97/PUU-XIV/2016, telah menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pengosongan keterangan agama bagi para penghayat saat perekaman data kependudukan tidak boleh terjadi lagi.
Penjabaran putusan MK menghasilkan materi Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 2019 (PP 40/2019) yang memberi kepastian hukum administrasi kependudukan bagi perkawinan Penghayat Kepercayaan terhadap TYME. Berdasarkan PP 40/2019, Perkawinan penghayat kepercayaan dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan terhadap TYME yang ditunjuk dan ditetapkan oleh organisasi penghayat kepercayaan yang telah terdaftar di Kementerian Dalam Negeri.
Proses Pencatatan
Terkait teknis administrasi perkawinan, Pemuka bertugas mengisi dan menandatangani surat perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa. Kemudian, paling lamat 60 (enam puluh) hari setelah perkawinan dihadapan pemuka, dilakukan pencatat perkawinan oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota atau UPT Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota.
Pejabat Pencatatan Sipil memberikan formulir pencatatan perkawinan kepada pasangan suami istri. Kemudian, pasangan mengisi formulir tersebut dan menyerahkan kepada pejabat Pencatatan Sipil dengan menunjukkan KTP-el untuk dibaca oleh perangkat pembaca KTP-el.
Persiapan Dokumen Perkawinan
Para penghayat kepercayaan yang hendak melakukan perkawinan, mempersiapkan dokumen-dokumen untuk persyaratan pencatatan sipil perkawinan. Dokumen yang dimaksud meliputi:
- surat perkawinan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dengan menunjukkan aslinya;
- pasfoto suami dan istri;
- akta kelahiran; dan
- dokumen perjalanan luar negeri suami dan/atau istri bagi orang asing.
Setelah dokumen diserahkan, pejabat pencatatan sipil akan melakukan verifikasi dan validasi, kemudian mencatat pada register akta perkawinan, menerbitkan kutipan akta perkawinan, dan menyerahkan kepada masing-masing suami dan istri.
Kedudukan dan Perlindungan Hukum Menjadi Jelas
Tanpa bukti catatan sipil perkawinan, sebagian masyarakat menganggap mereka melakukan “kumpul kebo”. Tentunya anggapan yang potensial menimbulkan konflik sosial. Demikian hal saat terjadi perceraian ataupun kematian, dari aspek hukum keperdataan ada potensi konflik dalam pembagian harta bersama, waris. Ketika hukum adat tidak dapat menyelesaikan, negara tidak dapat hadir untuk menyelesaikan.
Namun harapannya hal tersebut tidak perlu terjadi lagi, Regulasi terbaru memberikan akses perkawinan penghayat kepercayaan terhadap TYME yang tercatat. Dengan demikan kedudukan dan perlidungan hukum bagi perkawinan penghayat terjamin.